Selama tahun 2002-2010 terjadi penurunan pemakaian pada seluruh mode transportasi di Jakarta selain mobil pribadi dan motor. Itulah temuan sebuah studi oleh JICA yang dipublikasikan tahun 2010. Pemakaian mobil meningkat dari 11,6 persen ke 13,5 persen sedangkan motor dari 21,28 persen ke 48,7.
Bagaimana dengan sepeda? Anda mungkin berpikir bahwa penggunaan sepeda meningkat, seiring meluasnya hobi bersepeda. Tetapi bila dikelompokkan bersama jalan kaki, penggunaan mereka turun dari 23,7 persen ke 22,6.
Yang paling menyedihkan (menakutkan, bahkan!) adalah turunnya penggunaan bus dari 38,3 persen ke 12,9. Ini tanda bencana dalam waktu dekat, meskipun masih lebih tinggi daripada di Bali yang katanya cuma 3 persen.
Inilah sebabnya kita – lagi-lagi – harus memerhatikan persoalan rasa takut yang timbul dari pemerkosaan di angkot. Sebab selain soal kriminal, ini juga soal tata kota yang sangat serius. Rasa takut dapat menyebabkan penggunaan bus terus menurun.
Bagi saya solusi transportasi Jakarta dan sekitarnya sudah jelas. Ada tiga program utama yang hasilnya akan diperoleh dalam jangka pendek, menengah, dan panjang, tetapi semua harus dimulai sekarang.
Pertama, perbaiki habis-habisan sistem bus (kecil maupun besar) yang ada. Ini menyangkut banyak hal, mulai dari yang sulit seperti rasionalisasi rute dan integrasi jaringan, sistem karcis langganan, hingga ke hal-hal sederhana seperti menempel nama dan jadwal rute di halte-halte.
Kedua, tetap membangun MRT bawah tanah dan kereta api. Namun, untuk MRT kita harus realistis. Kita tidak mungkin menghasilkan suatu jaringan, apalagi yang secanggih di Tokyo. Yang realistis adalah mencita-citakan satu atau dua jalur saja.
Ketiga, dan yang lestari, adalah penataan ruang yang serius dengan minimal dua tujuan prioritas. Yang pertama: integrasi dengan sistem transportasi (sebagaimana juga dengan sistem-sistem lainnya).
Tujuan kedua: pemadatan dan pemberagaman merata secara bertahap, sehingga lebih banyak mobilitas lokal. Pemadatan dan pemberagaman tentu saja harus disertai peningkatan prasarana, sebab kalau tidak, akan mudah menjadi kumuh.
Bangunan hunian di Jakarta perlu ditingkatkan menjadi rata-rata empat lantai. Tidak perlu berupa menara-menara puluhan lantai.
Bukankah itu cita-cita yang layak kita perjuangkan? Secepatnya sebelum pengguna angkutan umum makin habis?
Marco Kusumawijaya adalah arsitek dan urbanis, peneliti dan penulis kota. Dia juga direktur RujakCenter for Urban Studies dan editor http://klikjkt.or.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar